Perjalanan Sang Belati

(Belati di mata Irma Aryasathiani)

Kamu memang bukan sebilah belati atau pedang yang tak bernyawa. Yang terbuat dari sepotong besi  yang dibakar di atas tungku yang menyala, yang ditempa berulang-ulang oleh si pandai besi, di pondok yang dindingnya saja penuh jelaga dan kehangusan.
Dari cucuran peluh dan ayunan tangannya maka jadilah ia sebilah pedang, pisau, golok ataupun belati. Yang berkilat di bawah cahaya dan tajam menghujam.
Lalu seseorang akan membawanya, untuk kemudian dijadikan penghias dinding rumahnya. Sebagai alat beladiri menghadapi musuh, atau sebagai alat pemotong di dapur.
Tidak ..
Kamu memang bukan sebilah belati yang berkilat saking tajamnya. Kamu hanyalah seorang pemuda tegap yang dilahirkan untuk menjadi seorang laki-laki sejati yang menyandang keagungan dan kharismatik, ketika pedang itu bersarung di pinggangmu.
Kamu ditakuti dan disegani bukan karena sebilah belati di pinggangmu. Melainkan karena tutur katamu yang penuh wibawa dan kearifan yang terpancar di matamu.
Namun cerita tentang si pandai besi yang sabar dan tekun itu hanya ada dalam kisah sang belati. Ketika malam itu kamu menyeruak masuk dengan mata kalap dan belati terhunus di tangan. Selebat mata … sebuah tebasan dan hujaman di dadaku mengakhiri perjalanan sang belati. Bersarang dengan cucuran darahku melumurinya, dan memberiku sebuah luka dalam dan nyeri, yang membawaku pada sebuah keabadian diantara hutan pinus, di ketinggian bukit-bukit hijau.
Ah ……. Belati itukah yang mengakhiri hidupku?
Bukan … bukan .. tetapi karena hatimu telah dirasuki awan gelap. Yang menghasut dan menghembuskan dendam dan kebencian akut  yang bersarang di dadamu.
Kamu tidak pernah mengingat betapa berat dan pedihnya perjalanan sepotong besi hingga menjadi belati ini. Tidak pernah tahu perjuangan sang pandai besi untuk menjadikannya sesuatu yang berharga dan bernilai di tempat dia seharusnya berada.
Yang ada kini hanyalah sebuah keadaan yang mengundang kegetiran. Ketika hidupmu berada di bawah tirani, karena hatimu dipenuhi angkara dan kedengkian. Yang menghilangkan jati diri sebagai pemuda tegap yang bermahkotakan kesucian hatinya. Dan kata-kata yang menjadi sabdanya.
Sebilah belati yang kini tergeletak nista di gudang yang berbau apek dan gelap.
Berkarat dan tak berkilat lagi.
Dan tubuhku yang tergolek meregang nyawa di tanah.
Telah hilang rasa sakitku.
Telah membeku darahku.
Bersama hembusan nafasku dan jiwaku yang berjalan menuju keabadian


2 comments: