oleh: Syaiful Alim
Kerinduanku padamu
bagai sebilah pisau
yang baru selesai diasah
haus segar darah.
Sudah berapa basah darah
yang melumuri tubuh pisau itu?
Setiap lidahnya menjulur tergiur
darahku mengucur.
Setiap hidungnya mendengus
urat nadiku memutus.
Jangan kau basuh. Aku masih harap ratap aduh.
Darah ngalir-wajahmu hadir.
Diam-diam aku mengagumi bisikan amis pisau itu, sebelum mengiris,
“Manis, jangan menangis, aku bukan iblis”
Diam-diam aku menikmati kejam tajam tikaman pisau itu di daging rinduku,
yang membikinku tak kunjung padam.
Diam-diam aku ketagihan raung eranganku sendiri, di ruang terang atau remang.
Pintaku, lagikan tikamanmu, wahai pisau.
Diam-diam aku menikmati ketidakberdayaanku,
menggelepar-gelepar di kekar rengkuh pisau itu.
Dan diam-diam aku mulai jatuh hati pada kukuh birahi pisau itu.
Terkadang jatuh hati bermula dari benci. Benci yang menanti tuju.
Aku begitu cemburu ketika mata pisau bermain lirik mata
dengan apel merah di sebuah meja makan, meja kita, kangen kata.
Hatiku terik. Kutarik pisau itu. Kucabik-cabikkan di hatiku.
Darah netes. Lapar belum beres. Kugores-gores wajahku.
Wajahku wajahmu sejenak ketemu: lalu pisah di persimpangan waktu.
Lupakanku, kulupakanmu, bujukmu.
Kelak, jika berjumpa lagi di gubuk sajak, akan kutujahkan pisau ini di detak jantungmu.
SUMBER
No comments:
Post a Comment